Minggu, 10 Mei 2009

Pseudo Post power syndrome

oleh : Riki Efendi*


Saat kondisi dibutuhkan berubah menjadi perasaan terabaikan. Ketika keterbiasaan memegang setumpuk amanah tiba-tiba menggradasi menyisakan kelempengan waktu yang amat luang. Sewaktu kaki yang acapkali menapak ribuan langkah berubah menjadi situasi ongkang-ongkang yang mengenaskan. Otak yang dulu acapkali bergelut memikirkan penyelesaian-penyelesaian dari berbagai permasalahan sekarang hanya berputar-putar di area memikirkan masalah itu sendiri. Tanpa ada penyelesaian. Wacana berpikir cuma dipenuhi frase-frase "medan manalagi yang kira-kira butuh saya". Dan lebih tragisnya jika pertanyaan tentang apakah diri masih bisa berkarya juga turut menyeruak. Sangat bisa jadi itu gejala yang menunjukkan kalau sejenis penyakit yang tidak terdeteksi oleh dokter manapun mulai menggerogoti semangat produktivitas. Meranggas spontannya aksi-aksi nyata menjadi polah yang meraba-raba.

Gejalanya mudah terlihat. Ia mematikan respon saraf-saraf kreativitas. Ia membuat lumpuh tangan-tangan yang dahulunya ringan mengerjakan tanggungjawab sebesar gunung sekalipun. Lantas ia juga membuat ketergangguan pada kewarasan kerja alam pikir seorang pejuang tanggung. Dan memadamkan nyala semangat pahlawan-pahlawan yang serba bingung. Memegang kekuasaan sangat rentan melahirkan porsi perasaan dibutuhkan yang amat signifikan besarannya dibanding porsi membutuhkan. Dan itu malah sangat bisa membuat terlena, merasa digjaya, Dan amat pantas diberi kuasa. Iblis adalah salah satu korban penyakit berbahaya ini.

Coba sekilas kita balik putaran hikmah sejarah yang amat lampau ketika peristiwa pengusiran iblis terjadi. Penyebabnya tidak lain adalah ketidakmauan si iblis mengadaptasi dirinya dengan kenyataan post power syndrome yang dialaminya. Lantas merasa tidak akan mampu berdiri dengan status barunya yang berada dibawah manusia. Dan yang paling penting ia merasa disepelekan. Post power syndrome merusak aktifitas ibadahnya yang amat luar biasa dahulunya. Serta menyimpangkan otaknya sehingga dengan berani ia menentang Sang Pencipta yang selama ini ia sembah. pilihan yang memang ia pilih. Menderita sepanjang masa dengan post power syndromenya.

Namun jangan salah, ada juga sosok yang berjaya menangkis virus post power syndrome ini. Sebut saja seorang sahabat, Khalid bin Walid. Seorang panglima yang tanpa unggah ungguh dicopot kekuasannya untuk diberikan kepada seorang anak yang jauh lebih muda. Namun penyikapan yang bijak, pola pikir yang matang dan hati yang lapang mengolah kepahitan semu itu menjadi sebuah komiten sejatinya. "Alhamdulillah, sekarang aku bisa menjemput syahid dengan tenang. Dahulu aku masih gamang untuk mati karena aku masih memegang amanah sebagai pemimpin pasukanku" Dan ia menjadi amat bahagia dalam pilihan hidup dengan loyalitas indahnya. Dan kemudian di posisi barunya -yang secara kasat mata memang lebih dibawah- ia tetap mengoptimalkan potensinya. Mestinyalah kita menjadi pribadi-pribadi yang tidak gagap terhadap penyakit yang memang bukan model baru ini. Tentu banyak perbaikan yang dicapai jika setiap orang tidak terpaku terhadap sebuah tugas saja. Dan merasa hanya itu yang bisa diperbuatnya. Dan ketika melepaskan amanah tersebut, kreatifitasnyapun ikut-ikutan lepas. Seorang mantan gubernur yang tidak lagi menjabat hendaknya juga tidak menjadi lepas tangan. Salah satu aplikasi perannya bisa saja dengan bertukar gagasan dengan gubernur yang menjabat. Tentang masalah yang acap dihadapi dan prioritas penyelesaian masalah tersebut.
Tidak harus terlalu khawatir terjangkit penyakit ini. Karena ia hanya mampu menjangkiti pribadi-pribadi enggan. Serta sosok-sosok oportunis yang hanya bisa mendompleng peluang dan bukannya para inovator yang mencipta beragam kesempatan.

Post power syndrome amat sejoli dengan stagnasi. Kekakuan dan kebakuan. Tipe penemu dan bukan pencari. Sedangkan semestinya ketidakbisaan berkarya mestinya dibuang jauh-jauh dari halaman pikir kita. Dunia tidak hanya selebar daun kelor. Bukan hanya satu ladang yang bisa kita panen. Dan bukan hanya ladang melulu yang bisa kita panen. Masih ada kebun, sawah dan masih banyak lagi.
Al-Qur'an menyatakan dengan gamblang bahwa semestinya istilah post power syndrome itu tidak ada di kamus kehidupan manusia. Jika perasaan itu pernah mampir maka sebenarnya iu hanya fenomena semu yang tidak benar-benar ada. Simak saja tafsir ayat berikut. "Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu uruan) tetaplah bekerja keras untuk urusan yang lain." Karena memang hidup adalah berjuang. Makan adalah berjuang. Minum adalah berjuang. Mandi adalah berjuang. Kuliah adalah berjuang. Berdagang adalah berjuang. Bertani adalah berjuang. Dan memulungpun adalah berjuang. Yang pasti bekerja adalah berjuang. Dan jika begitu berarti bekerjapun tiada mengenal terminal henti. Mestinya. Tidak cukup sekedar terus bekerja keras dan menerus berkarya, malah ditambahkan lagi dengan suatu hadist lagi yang intinya menginspirasi kita untuk terus memperbaiki diri. Level amanah kitapun mestinya meningkat. Kita harus selalu menapaki tangga yang menaik. Bukan yang datar atau malah curam menurun. Bukan objeknya tapi pemaknaan terhadap amanah itu sendiri. Dan kalau pemaknaan itu sudah menelisik syahdu di nurani kita maka saat virus ini coba menghampiri dan aromanya terasa mendekat segera berteriak lantang dalam hati "Saya bukan sekedar masih bisa berguna, Saya juga bisa menjadi lebih berguna."

*Dipersembahkan buat saya dan buat rekan-rekan yang takut menderita penyakit serupa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar