Senin, 27 April 2009

FADLAN, USTADZ KERITING, PERINTIS BENDERANGNYA CAHAYA ISLAM DI BUMI PAPUA

*Oleh: Riki Efendi

Ustadz Fadlan, rambut keriting dan kulit hitam gosongnya menyebabkan ia acap kurang dipercaya sebagai seorang muslim ketika mengenalkan dirinya. Di Makassar pernah ucapan salamnya tidak dibalas oleh muslim disana sebab perawakannya memang jauh dari perawakan muslim dalam gambaran penduduk sana. Padahal Ustadz Fadlan tidak pernah mengajukan proposal permintaan arsitektur fisiknya pada Yang Maha Pencipta. Semuanya benar-benar desain original dari Allah.


Dakwah Dengan Sepotong Sabun

Beliau memulai dakwah di Papua pada era 80-an. Saat itu, dimana transportasi hanya mengandalkan kekuatan telapak kaki, lamanya jarak tempuh antara Papua dan Wamena mencapai dua bulan perjalanan. Akhirnya saat berangkat, masih dalam jarak sekitar dua minggu perjalanan bekal mereka habis. Rombongan da’i ini kemudian memutuskan untuk kembali pulang. Akhirnya, mereka memilih strategi untuk menumpangi pesawat para misionaris, dengan mengganti nama mereka menjadi nama beraroma kristiani.

Sesampainya disana ustadz Fadlan amat terenyuh melihat kondisi masyarakat yang amat memprihatinkan. Harkat sebagai manusia seperti telah dibusukkan bersama gerobak sampah. Martabat mulia sebagai mahkluk ciptaan yang istimewa bagai dipoles bersama-sama dengan aspal hitam jalanan. Disana ia mendapati penduduk papua melumuri minyak babi ke tubuhnya yang mereka kenal denga ritual mandi. Tidak hanya sampai disitu, para ibupun ketika selesai menyusui anak-anak mereka maka mereka kemudian menyusui anak-anak babi.

Kemudian Ustadz ini menawarkan sepotong sabun kepada kepala suku. Selanjutnya sang kepala suku melumuri tubuhnya dengan sabun tersebut tanpa membilasnya persis seperti mereka melumuri tubuhny dengan minyak babi. Saking senang dengan keharuman yang didapatnya dari sepotong sabun tadi, sang kepala suku berlarian keliling kampung. Seketika hujan mengguyurnya dengan kesegaran yang luarbiasa. Saat itulah sang kepala suku merasakan kolaborasi kenikmatan segar dan harum sekaligus. Kemudian dengan perasaan yang masih berbunga-bunga ia mendatangi ustadz Fadlan untuk berterima kasih “Terima kasih anang, inilah cara membersihkan tubuh yang benar. Tuhan langsung memandikan saya dengan airnya dari langit” Kemudian Ustadz Fadlan dan rombongan sholat berjama’ah dengan dikelilingi oleh para penduduk. Selama sholat, sang kepala suku memperhatikan mereka dengan keheranan dan tidak sabar menunggu mereka selesai untuk segera bertanya.

Nang, tadi Bapak liat anang komat kamit sambil angkat-angkat tangan itu apa maksudnya?” Bapak Kepala suku bertanya dengan lugas. “Tadi kami baru menyelenggarakan sholat Pak. Agama kami Islam dan tuhan kami Allah. Kami diajarkan untuk menemui-Nya sehari lima kali. Nah, Dialah Yang Maha Kuasa sehingga kemudian kami mengangkat tangan sebagai tanda tiadanya kuasa kami atas diri sendiri.” Ustadz Fadlan mencoba menjelaskan. “Terus Nang, kalau yang tadi anang tunduk-tunduk, apa maksudnya itu, Nang?”. Kepala suku kembali bertanya. “Artinya kita mestilah melihat kembali ke bawah, ke bumi ini. Apa-apa yang ada, kita pelihara, jaga dan lestarikan. Karena untuk itu kita diciptakan. Bukan hanya untuk menikmati, mengkonsumsi.” Dengan bijak ustadz Fadlan mengurai jawaban. “Oh iya, saya setuju dengan Anang. Tapi tadi saya lihat Anang ini sujud mencium-cium papan. Itu apa maksud Anang melakukan itu?” tanya kepala suku yang masih diliputi mimik keingintahuan tersebut. “Itu artinya bahwa Anang dan kawan-kawan semua harus selalu ingat bahwa asal kita adalah dari tanah. Maka tidak boeh ada sedikitpun kesombongan tumbuh dalam hati kita. Itu upaya kita untuk mengingat-ingat bahwa diri kita ini adalah ciptaan saja.” Tanpa bosan ustadz Fadlan tetap meladeni setiap pertanyaan Kepala Suku. “Kemudian Nang, apa tujuan Anang menengokkan kepala ke kanan lalu ke kiri di gerakan terakhir tadi?” Kepala suku pun tak jenuh mengajukan pertanyaan yang mengusik hatinya. “Setelah tadi kami memenuhi hak Allah sebagai tuhan kami maka kemudian kami tetap harus memperhatikan saudara kami di sebelah kanan dan sebelah kiri. Ketika kami melihat ke sebelah kanan dan masih menemukan saudara kami yang bergelimang minyak babi maka akan kami beri mereka sabun untuk membersihkan diri. Ketika kami menoleh ke kiri dan masih menyaksikan saudara kami dalam keadaan telanjang maka akan kami beri mereka pakaian. Ini tanggung jawab moral kita terhadap sesama manusia

Lalu Sang Kepala Suku kemudian bersyahadah bahwa Allah-lah tuhannya dan Muhammad sebagai Rasul yang diutuskan untuk menyampaikan pencerahan dengan berpedoman pada Islam. Syahadah yang kemudian diikuti oleh sekitar 3.720 penduduk yang hadir disana. Lalu para penduduk melakukan mandi masal dengan sepotong sabun yang dibagi empat. Inilah menariknya dakwah dengan modal, sepotong sabun.


Pernah Dipanah Saat Berdakwah

Pada tahun 1994, Ustadz Fadlan dan rekan-rekan berencana untuk berdakwah disebuah daerah sejauh sembilan hari perjalanan dari Papua. Dari sekitar dua pulun da’i yang ada, hanya sekitar enam da’i yang berani memutuskan untuk berangkat. Bukan hanya terkait masalah jarak karena disana para penduduk sudah diperingatkan oleh para misionaris akan kedatangan mereka. Dan sambutan lontaran-lontaran anak panah para penduduk sudah siap menanti mereka. Selama perjalanan, sang ustadz t terus menanyakan kembali komitmen para rekannya untuk menghadapi bahaya yang mengancam.

Benarlah, di hadapan mereka telah siap penduduk yang tersebar di berbagai tempat dengan panahnya masing-masing. Dalam jarak yang sudah teramat dekat dengan lokasi kemudian ia berpesan agar teman-temannya segera pergi apabila nanti ia terkena tembakan anak panak beracun tersebut. Lantas beliau maju menghampiri. Slassssshhh......anak panah pertama mengenai tangan kirinya. Ia tetap melanjutkan langkahnya sampai kemudian slassshhhhhhhh........satu anak panah lagi bersarang di lengan kanannya. Ia limbung dan jatuh. Kemudian terbayang bagaimana siroh menceritakan getirnya dakwah Rasulullah di Tho’if. Kemudian beliau mengangkat tangan ke langit dan bersyukur kepada Allah bahwa ia daat merasakan nikmatnya dakwah ini. Serta rasa syukur bahwa ujian yang ia nilai tidak seberapa bila dibandingkan dengan Rasulullah. Dengan tenaga tersisa ia tetap mencoba mendekati sesosok tubuh yang ia yakini sebagai pemimpin mereka. Kemudian ia mengulurkan tangannya pada sosok itu “Kalau memang saya tidak diperkenankan berkunjung, saya akan kembali. Mohon maaf telah merepotkan Bapak.” Sang kepala suku tertunduk lemas dan menangis “Anang, ijinkan saya mengantar anang pulang” sang kepala Suku merengek.Kepala suku akhirnya juga ikut mengantar sang ustadz berobat ke Makassar. Disana kemudian Kepala Suku melihat nikmatnya ibadah sang ustadz dan rekan-rekan. Dan saat pulang sang kepala suku mengajak pengikutnya secara beramai-ramai menjadikan Islam sebagai landasan hidup. Subhanallah.

(disadur dari monolog Ustadz Fadlan Gharamatan pada acara Islamic Bookfair awal 2009 lalu)

Idealisme Berotak bukan Idealisme Berontak

*Oleh: Riki Efendi

Idealisme. kompilasi dari dua kata. Kata Ideal dan kata isme. Ideal artinya suatu keadaan yang sempuna dan isme merupakan sebuah paham atau prinsip hidup. Maka sementara ini idealisme boleh kita pahami sebagai prinsip kehidupan dimana sang pemilik prinsip selalu ingin mengejawantahkan kesempurnaan. Entah sudah berapa orang yang ikut serta mendefinisikan idealisme. Entah pula sudah berapa lembaran buku yang memuat arti kata idealisme. Yang jelas jumlah manusia-manusia yang mulai meninggalkan idealismenya lebih banyak dari uraian-uraian bibir maupun bacaan-bacaan tersebut. Zaman sudah mulai mendekati kondisi dimana idealisme menjadi layaknya barang langka. Yang coba-coba menunjukkan idealismenya siap-siap saja dijaga ‘kelestariannya’ melalui pengasingan.

Idealisme acap dipersaudarakan dengan anarkisme, radikalisme, extremisme dan artian-artian sebangsanya. Tidak heran idealisme menjadi sering disu’udzoni dalam banyak ranahnya. Segala hal yang berontak kemudian digelari sikap fundamental pertahanan idealisme. Kekerasan-kekerasan dan spesies-spesiesnya juga demi berbagai macam pembelaan ikut-ikutan numpang selamat pada kata Idealisme. Padahal jika kata idealisme ini kita tarik maka akan keliatanlah dengan jelas lekuk-lekuk akar dan buluh-buluh halus pembuluhnya. Dan tak satupun disana tersemat buku-buku kekerasan. Mustahil sekali sesuatu yang diupayakan bisa sempurna, gaya tatanya berkiblat pada gaya anarkis. Gaya perbaikan disamakan dengan gaya pengrusakan. Memang idealisme dalam bentuk alamiahnya cenderung tidak bisa ditawar dan dikompromikan. Karena itu akan mendekati lobi-lobi pelunturannya. Namun ternyata idealisme juga berpikir dan hidup. Dinamis. Ia berotak dan bukan sekedar berontak.

Idealisme Offensif atau Defensif

Setelah digelayuti makna kekerasan sekarang idealisme oleh beberapa pengikut taklidnya juga coba dihubung-hubungkan dengan kejumudan. Sholih saja dan bukan mushlih. Baik dan cukup sampai pada kepuasan lingkaran lokal kebaikan itu. Sekedar sebentuk aksi moral menolak godaaamplop. Dan bukan sebuah misi besar untuk dapat menciptakan sistem protektif dan solutif yang dapat membentengi individu-individu lain dari rayuan amplop-amplop hitam dan kelabu sejenis. Namun pilihan ini tidaklah serta merta mengenyampingkan aksi-aksi kecil semisal penolakan amplop ataupun ucapan terima kasih. Sebab sebagaimana nasihat seorang ustadz teduh asal Bandung yang mengatakan titik mulai yang seharusnya diawali dari hal-hal yang terlihat remeh.

Jika secara kata Idealisme merupakan kompilasi kata ideal dan isme maka dalam perwujudannya ia merupakan kombinasi dari suatu sikap (defensif) dan aksi (offensif). Jadi dalam kandungan sifat sejatinya, Idealisme merupakan produk perjuangan yang salah satu sayapnya adalah pertahanan. Idealisme merupakan bentangan benteng kokoh dari ancaman serangan musuh sekaligus jet tempur yang siap mendobrak kebobrokan sistem birokrasi yang sudah teramat carut marut. Kemudian idealisme juga merupakan mesin-mesin konstruksi yang siap membangun kembali peradaban yang bersih dan menebarkan kesejahteraan merata pada seluruh masyarakat.

Rasulullah, Pemilik Idealisme Agung

Bicara tentang komprehensivitas menyangkut figur dan keteladanan maka tidak akan pernah bisa lepas dari sosok mulia sekelas nabi Muhammad saw. Idealisme yang beliau bawa amat jelas, cahaya pencerdasan dan pencerahan dari syari’at lengkap dan sempurna, Islam. Ketika idealismenya itu coba diganggu gembong jahiliyah dengan memancing ketergiuran beliau pada harta dan kuasa maka Rasulullah memperlihatkan penjagaan luar biasa terhadap idealismenya. “Seandainya mereka meletakkan mentari di tangan kananku kemudian rembulan di tangan kiriku maka semua itu takkan mengubah arah perjuanganku. Aku akan terus membawa risalah agung ini hingga Allah memenangkanku atau aku mati dalam memperjuangkan idealismeku ini. Dimulai dengan penjelasan bahasa protektif terhadap idealismenya dengan menjauhkan kemungkinan godaan terdahsyat semacam matahari dan rembulan. Lantas Rasulullah juga memancangkan komitmen masa depannya untuk membawa perjuangan idealisme ini tidak sebatas protektivitas namun juga menuju produktifitas. Optimalisasi perjuangan dengan menyisakan hanya dua pilihan. Mulia dalam status kehidupannya di dunia atau meninggalkannya dengan senyuman ridha seorang syuhada menyambut janji Rabb-nya.



(Ketika lagi-lagi harus melihat rekan-rekan makan jeruk sunkist dengan begitu nikmatnya)