Minggu, 10 Mei 2009

Menghindari Mengendara Si Burung Raksasa

*oleh Riki Efendi


Terus terang saat beberapa teman bertanya gaya jalan-jalan seperti apa yang amat saya hindari, maka tipikal perjalanan yang banyak menghabiskan waktulah yang menjadi jawabannya. Namun kalau boleh meminta dengan tulus, jawaban itu tidak usah dihubung-hubungkan atau coba disimpulkan dengan menemukan sebentuk pemecahan berupa alat transportasi tercepat yang kita kenal saat ini. Kapal terbang. Karena tidak peduli dibilang aneh, saya juga amat tidak gemar menunggangi burung elektronik raksasa itu. Memang ia dapat memakan hampir 23 jam waktu yang semestinya dihabiskan dalam momen yang dekat dengan kesia-siaan di dalam bus. Namun dari hasil dengar pendapat dengan seorang rekan, naik pesawat memang bukan solusi yang tepat buat orang-orang penakut macam saya. Dan saya mengakui saya memang tergabung dalam tipikal orang-orang yang tergolong amat skeptis. Saya bukanlah orang yang mudah percaya apalagi gampang dalam menggantungkan sepenuhnya helaan terakhir nafas saya kepada seseorang bernama pilot.

Memang sekilas, kalau dilihat-lihat dalam tayangan persentase volume kecelakaan yang terjadi, maka kapal terbang akan berada di urutan juru kunci. Ia tak celaka seacap bis malam ataupun sesering kereta api. Namun jika coba diteropong menuju ke persentase jumlah dan tingkat kronis para korban dalam setiap kecelakaannya maka ia seketika akan berdiri di podium jawara. Kapal terbang memang jarang celaka, namun sekali celaka ia tak kira-kira. Parah, dan benar-benar menakutkan. Sebagaimana efek yang menimpa seorang sehat yang tak pernah sakit ketika didera penyakit. Bayangkan, sekali menderitanya maka ia langsung tamat.

Dalam level ketakutan saya ini, beberapa orang menyebut saya berlebihan. Namun saya lebih sepakat dengan sebagian kecil suara yang membela pendirian saya sembari berbisik menasihati “Kamu tidak penakut dan berlebihan, kamu cuma terlalu realistis”

Terlalu realistis. Dan ini memang akan menjadi pekerjaan yang dikucilkan. Beberapa orang mungkin bisa mengandaikan bahwa dirinya sedang berada di sebuah tabung yang dalam hitungan beberapa menit kemudian tabung itu akan mengantarkan mereka ke tempat tujuan. Layaknya kapsul waktu. Cepat dalam kejapan. Maka mereka berfantasi saja. Berfantasi bahwa awan yang berarak perlahan merupakan tampilan ciamik aduhai dari video berbentuk jendela. Menghayalkan bahwa setiap guncangan yang terjadi merupakan bumbu pemanis perjalanan. Namun saya tidak demikian. Dan tidak bisa berlaku demikian. Ketika berada puluhan ribu meter diatas permukaan laut maka yang terbayang adalah bahwa saya memang tidak memiliki kuasa apa-apa. Bahwa sadar tidak sadar serta mau tidak mau, sekarang hidup mati saya berada digenggaman pilot. Ini dalam hubungan yang coba saya sederhanakan. Namun ternyata tidaklah segamblang itu. Maka saya kemudian sadar sepenuhnya bahwa ternyata pilot itupun tidak bisa mengenggam nasibnya sendiri. Maka semuanya terkembalilah kepada Allah.

Namun dari momen-momen yang saya rasakan di pesawat, detik-detik lepas landaslah yang amat menegangkan bagi saya. Karena bisa jadi itu merupakan penglihatan jarak dekat terakhir saya terhadap pemandangan di bumi. Maka nafas saya beradu cepat dengan gelinding roda pesawat. Maka jantung saya serasa masih tertingal di sana. Di bandara. Bersama kekhawatiran yang tidak saya tampik sebagai suatu bentuk kelemahan. Rombongan pengantar seakan melambai-lambai seraya mengucap selamat tinggal dengan tarian yang amat kompak. Tarian terkompak yang pernah saya lihat. Dan saya terharu. Bukan karena tarian itu. Tapi pada untuk apa tarian itu disampaikan. Jika selama ini kita mengenal tarian selamat datang maka para keluarga penumpang ini seakan menemukan kebaruan cipta dengan memperkenalkan tarian “semoga selamat sampai di tujuan”.

Saat melihat penumpang lain bisa tertidur maka luaplah cemburu sekaligus miris saya. Cemburu tentunya saat mereka pulas dalam keadaan menyandarkan dirinya kepada Penciptanya. Tenang dalam penjagaan Allah Yang Maha Memelihara dan Maha Penyayang. Namun bisa jadi sebagian besar dari mereka malah lalai dan merasa aman dari ikut campurnya Tuhan dalam perjalanan mereka ini, maka wajarlah saya miris. Saya memang belum bisa tertidur dan merasa aman dalam penjagaan Allah, tapi setidaknya saya masih merasakan bahwa saya sama sekali tidak bisa mengatur keberlangsungan nyawa saya. Dan saya bersyukur tidak termasuk dalam gologan orang lalai dan semoga Allah menyelamatkan saya dari yang demikian.

*dibuat untuk menjelaskan ke rekan-rekan alasan logis yang membuat saya khawatir menaiki kendaraan mewah "itu"

1 komentar:

  1. tulisan yang bagus Dek Pendi.... maju terus ya... lebih sering nulis, insyaAllah akan membuat tulisan semakin berkualitas... jangan terlalu memaksa untuk menulisa dengan tema besar.... yang beginian juga dah bagus, sederhana tetapi khas dan penuh makna... tetap semangat....

    salam
    om sedjati

    BalasHapus